Inilah Mengapa Memahami Ruang Sangat Sulit
05.29
Add Comment
Comstock/Getty Images |
Jika semua materi yang ada di Alam Semesta tiba-tiba menghilang, akankah ruang masih tetap ada? Isaac Newton berpikir demikian. Ruang, ia membayangkan, adalah sesuatu seperti holodeck, sebuah perangkat dalam plot serial televisi Star Trek, yaitu sebuah panggung realitas virtual 3 dimensi yang mensimulasikan proyeksi dari orang, benda dan tempat. Seperti yang ditulis oleh Newton di halaman awal buku Principia-nya: “Ruang adalah mutlak, dari sifatnya sendiri, tanpa mengacu pada apapun, selalu tetap homogen dan tak tergoyahkan.”
Hal ini tampaknya persuasif dalam kehidupan sehari-hari. Saya berjalan ke arah timur, Anda berjalan ke arah barat, dan kantor pos tetap berada di tempatnya semula: Kerangka referensi tetap statis. Tapi, Gottfried Leibniz, seorang ahli matematika dan filsuf dari Jerman yang hidup sezaman dengan Newton, menolak ide tentang ruang yang mutlak ini. Singkirkan seluruh objek yang membentuk Alam Semesta, demikian ia berpendapat, dan “ruang” tidak lagi memiliki arti apapun. Memang, ide Leibniz akan terlihat jauh lebih kuat ketika Anda berada di luar ruang, dan Anda hanya dapat mencatat jarak antara Anda dari Matahari dan berbagai planet, serta objek-objek yang semuanya bergerak relatif terhadap satu sama lain. Satu-satunya kesimpulan yang masuk akal, Leibniz berpendapat, ruang adalah “relasional”: ruang hanyalah seperangkat jarak yang selalu berubah antara Anda dan berbagai objek (begitu pula jarak masing-masing objek satu sama lain), dan bukan “realitas mutlak.”
Au contraire (sebaliknya), jawab Newton. Efek dari ruang yang mutlak cukup mudah diamati. Dan Newton telah berhasil mencoba membuktikannya menggunakan ember air yang berputar. Eksperimen tersebut mungkin terdengar sederhana, namun memicu perdebatan tentang sifat ruang, waktu, pergerakan, percepatan, dan gaya yang terus berlanjut hingga hari ini.
Di Principia, Newton meminta kita membayangkan seember air yang tergantung oleh seutas tali. Apabila kita memutar ember searah jarum jam, maka tali akan berpilin. Apa yang terjadi ketika kita melepaskannya? Ember akan mulai berputar berlawanan arah jarum jam, perlahan-lahan pada awalnya, lalu lebih cepat. Tetapi sesuatu yang lain juga akan terjadi: Seperti yang ditulis oleh Newton, permukaan air “perlahan-lahan akan menjadi cekung, lebih rendah di bagian tengah dan lebih tinggi di bagian pinggir.” Untuk sementara, ember dan air akan berputar bersama. Akhirnya, ember melambat dan putarannya berbalik, demikian pula dengan air, yang berangsur-angsur permukaannya akan datar kembali.
Siswa di SMA belajar tentang “gaya sentrifugal,” tetapi apa yang sebenarnya menyebabkan air lebih tinggi di bagian tepi ember? Tidak mungkin karena pergerakan air relatif terhadap ember, Newton mengamati, karena distorsi maksimal pada permukaan air terjadi ketika putaran air paling cepat, “selaras” dengan putaran ember. Tentu saja, ember dan air berputar relatif terhadap Bumi, tetapi hal tersebut tidak bisa menjadi penjelasan, karena eksperimen serupa yang dilakukan di luar angkasa, Newton yakin, akan serupa.
Sejak Tata Surya terbentuk miliaran tahun yang lalu, Bumi telah berputar dengan bagian khatulistiwanya “menonjol keluar”, seperti air di ember yang berputar.
Untuk Newton, satu-satunya cara untuk menjelaskan eksperimen sederhana menggunakan ember ini adalah dengan mengatakan bahwa air berputar sehubungan dengan ruang yang mutlak, dan memicu inersia, gagasan kunci lain dalam Principia, ketahanan objek terhadap perubahan kecepatan atau arah geraknya. Setelah ember dan air berputar, sisi-sisi ember mencegah air bergerak dalam sebuah garis lurus, dan mendorongnya naik ke arah tepi ember.
Tapi, mengapa objek memiliki inersia dari semula? Pada abad ke-19, Ernst Mach, seorang fisikawan dari Austria, meyakini bahwa penjelasan tentang gerakan dan inersia, termasuk gerakan air dalam ember yang berputar, hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan sisa materi di Alam Semesta. Bagi Mach, versi yang lebih besar dari ember dapat dilihat pada Bumi itu sendiri: Sejak pembentukan Tata Surya, miliaran tahun yang lalu, Bumi berputar dengan bagian khatulistiwanya “menonjol keluar,” seperti air di ember yang berputar. Mach juga bertanya: Jika rotasi Bumi bisa dihentikan, dan sebaliknya seluruh planet dan bintang berputar di sekitarnya, akankah khatulistiwa Bumi masih menonjol?
Newton akan menjawab tidak: Tidak ada putaran, tidak ada tonjolan. Tetapi Mach menyadari bahwa jawabannya tergantung pada dari mana inersia sebuah objek berasal. Jika memang inersia tersebut berasal dari dari sebagian besar materi di Alam Semesta, maka memang planet ini akan tetap menonjol. Ini adalah gambaran relasional Leibniz: Tidak hanya pada gerakan relatif, tetapi inersia, Mach memutuskan, adalah ukuran hubungan antara objek dan sisa materi di Alam Semesta. Jika pandangan Mach benar, bintang dan galaksi baik yang dekat maupun jauh, dalam beberapa hal, bertanggung jawab untuk bentuk Bumi dan bentuk cekungan air di ember berputar seperti eksperimen Newton. Tetapi Mach tidak menjelaskan bagaimana cara bintang dan galaksi dimaksud memberikan pengaruhnya, dan bahkan hingga hari ini, jawabannya masih jauh dari kejelasan.
Mungkin penganalisis tertajam dari gagasan Mach adalah Albert Einstein muda, yang kemudian akan mengupayakan untuk memasukkan apa yang ia sebut sebagai “Prinsip Mach,” yaitu bahwa inersia objek tergantung pada agregat materi di seluruh Alam Semesta, ke dalam teori gravitasinya, Relativitas Umum.
Keberhasilan yang luar biasa dari teori Einstein adalah pukulan terakhir bagi ruang mutlak Newton, tetapi tanpa ruang mutlak, kita terus berjuang untuk memahami eksperimen ember Newton. Dalam buku populernya yang berjudul “The Fabric of the Cosmos,” Brian Greene, yang adalah seorang fisikawan menjelaskan bahwa meskipun menghancurkan gagasan ruang absolut Newton, teori Einstein memberi kita sesuatu yang lain, struktur empat dimensi yang dikenal sebagai ruang dan waktu, dan Greene berpendapat, bahwa ruang dan waktu adalah mutlak. Dalam kehidupan sehari-hari, Anda dan saya mungkin tidak sepakat tentang durasi parade, atau jarak yang ditempuh oleh para peserta parade, tetapi kita dapat mencapai kata sepakat tentang jarak total melalui ruang dan waktu antara awal dan akhir parade. Hal ini sulit untuk digambarkan, karena memang kita tidak dapat melihat dalam empat dimensi, tetapi digaransi oleh persamaan dalam teori Einstein.
Namun, tetap saja pendapat Greene tentang permasalahan ini belumlah final. Para fisikawan sekarang mencurigai “Higgs field,” atau medan Higgs yang diyakini memberikan massa bagi partikel, menembus Alam Semesta. Meskipun ruang dan waktu Einstein kemungkinan dapat berfungsi sebagai kerangka acuan yang dapat mengukur akselerasi, medan Higgs berfungsi secara lebih baik: Dengan menawarkan daya tahan terhadap apa pun yang melewatinya, mungkin menjelaskan mengapa objek memiliki inersia dari semula.
Masih ada ide lain yang berasal dari Paul Davies, seorang fisikawan dari Universitas Negeri Arizona, yang menunjukkan bahwa ruang “kosong” sebenarnya adalah sebuah buih mendidih yang terdiri dari partikel subatomik berumur pendek yang muncul dan keluar dari eksistensi. Kuantum “vakum frolic”, katanya, bisa berfungsi sebagai pengganti ruang mutlak.
Setelah lebih dari tiga abad, pertanyaan-pertanyaan yang dipicu oleh eksperimen ember berputar Newton, tentang ruang dan gerak, tentang massa dan inersia, terus menyulitkan para fisikawan dan filsuf. Sesuatu yang membuat air naik ke bagian tepi ember, tetapi apakah itu benar-benar merupakan struktur ruang dan waktu, atau medan Higgs, atau sejenis buih kuantum, masih tetap harus diamati.
Ditulis oleh: Dan Falk, nautil.us
Dan Falk adalah seorang jurnalis sains yang berbasis di Toronto. Buku-buku yang ia tulis termasuk “The Science of Shakespeare” dan “In Search of Time”. @danfalk.
0 Response to "Inilah Mengapa Memahami Ruang Sangat Sulit"
Posting Komentar